rss

Selasa, 21 Juni 2011

Wasiat Rasulullah Shalallahualaihi wassallam tentang Shalat Dhuha

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, wasiat diartikan sebagai pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang meninggal dunia, pusaka, atau sesuatu yangbertuah. Arti apapun yang diberikan untuk kata ini, yang pasti wasiat adalah sesuatu yang bersifat amat penting dan menyimpan keutamaan dan manfaat yang luar biasa dalam banyak hal.
Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan
“Kekasihku, Rasulullah mewasiatkan kepadaku tiga perkara: puasa tiga hari pada setiap bulan, dua rakaat shala Dhuha, dan agar aku shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, sahabat Abu Darda berkata:
“Kekasihku Rasulullah mewasiatkan kepadaku tiga perkara, dan aku tidak akan meninggalkannya selama aku hidup, yaitu : puasa tiga hari pada setiap bulan, shalat Dhuha, dan agar aku tidak tidur sebelum shalat witir.’ ( HR. Bukhari dan Muslim)
Abdul Aziz bin Baaz berkata, “ Kedua hadits tersebut merupakan hujjah yang jelas untuk menunjukkan disyariatkannya shalat Dhuha, dan hal itu adalah sunnah Mu’akkadah. Karena jika beliau mewasiatkan sesuatu, berarti wasiat itu untuk semua umat. Bukan untuk orang tertentu yang diberi wasiat tersebut. Demikian juga, jika beliau melarang atau memerintahkan sesuatu, maka hukumnya adalah umum. Kecuali, jika beliau mengkhususkan pada seseorang atau sesuatu, yaitu seperti dengan kalimat :’ini khusus untukmu’.” (Said bin Wahf al-Qahthani, Shalat al-Tathawwu’)
Makna penting mengistiqomahkan shalat Dhuha tergambar jelas dar wasiat Rasulullah tersebut, bahkan sahabat Abu Darda’ berjanji tidak akan pernah meninggalkannya selama ia hidup. Tetapi, satu pertanyaan muncul : “Jika shalat sunnah tersebut amat penting, mengapa Rasulullah tidak melanggengkannya? Terbukti dalam beberapa hadits Nabi disebutkan bahwa beliau kadang melakukannya namun terkadang meninggalkannya.”
Nabi tidak melakukan shalat Dhuha terus nenerus bukan berarti meniadakan sunnahnya. Karena, terkadang beliau meninggalkan suatu amalan dengan tujuan menjelaskan kepada umatnya bahwa amalan tersebut tidak sampai pada tingkat suatu kewajiban. Akan tetapi, para sahabat merasakan eman atau sayang apabila meninggalkan kesunahan – kesunahan yang diajarkan oleh Nabinya, karena begitu besarnya keutamaan yang dikandung oleh amalan tersebut. Salah satunya adalah sahabat Abu Darda’, sebagaimana, diceritakan dalam hadits di atas.
Itulah gambaran abad keemasan para sahabat, mereka memandang amalan sunnah sedemikian istimewa sehingga seperti sebuah kewajiban. Hal-hal yang makruh mereka tinggalkan, dan yang mubah mereka ganti dengan amalan ibadah. Apalagi, jika amalan itu suatu kewajiban.
Sebuah perkara pernah membuat hati Umar bin Khattab benar – benar bersedih dan menyesal. Padahal perkara itu bukanlah sesuatu yang berimbas pada dosa yang sangat besar, tetapi “hanyalah”nsuatu amalan yang tidak sengaja ia tinggalkan. Alkisah suatu hari Umar bin Khattab lupa tidak mengikuti shalat Ashar berjamaah dikarenakan masih melihat – lihat kebunnya. Saat itu, ia melihat kaum Muslimin sudah pulang dari mengerjakan shalat Ashar. Karena itulah, ia bersedih dan menyesal. Untuk menebus kelalaiannya, ia lalu menginfakkan seluruh kebunnya untyk keperluan dakwah islam.
Begitulah ghirah (semangat) beribadah para sahabat Nabi di zaman keemasan, lalu bagaimana dengan ghirah kita saat ini? Na’udzubillah tsummastaghfirullah, kita berlindung kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya oleh karena banyaknya kelalaian kita.

*Baba Rusyda Babel Haqq*
--Shalat Dhuha--

0 komentar:


Posting Komentar