Seorang remaja putri, Rumaisha. Hidup biasa – biasa saja, sama seperti teman sebayanya. Tidak cantik, sederhana namun ada sebuah motivasi dalam dirinya untuk selalu tegar bertahan hidup di atas ujian Allah , motivasi hidupnya adalah “Aku hidup untuk Allah, dan aku hidup untuk mati” Subhanallah, motivasi yang sangat dahsyat, menanamkan dalam dirinya hidup hanya untuk Allah, dan meninggalkan semua kemewahan dunia, karena ia menyadari bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati. Seandainya semua manusia menyadari hal ini. Dia, seorang mahasiswi di bidang kebidanan. Ya, pilihan yang tepat, dari banyak segi, jurusan ini sangat banyak manfaatnya dan insha Allah sedikit mudharatnya. Seorang bidan banyak menolong para ibu untuk berjuang melairkan khalifah – khalifah kecil, dan pekerjaan ini juga jarang mencampurbaurkan antara lelaki dan perempuan. Sehingga, dapat tetap menjaga muru’ahnya sebagai seorang wanita muslimah. Insha Allah.
Tapi, suatu ketika rumaisha diuji oleh Allah. Pagi itu, Rumaisha pergi ke sebuah toko alat tulis yang berada tidak jauh dari sekolah akademinya. Di sana, ia bertemu dengan seorang pemuda, ya tampan memang. Sekilas melihat pemuda tersebut, hati Rumaisha bergetar dan segera menundukkan pandangannya, karena, pandangan pertama itu rahmat sedangkan seterusnya adalah laknat. Hari berlalu, Rumaisha melalui hari – harinya seperti biasa. Hingga pada hari Senin, saat waktu Zuhur, Rumaisha pergi ke masjid yang berada di belakang sekolah akademinya. Setelah shalat Zuhur, tanpa sengaja Rumaisha bertemu dengan pemuda itu lagi, entah apa yang membuat Rumaisha berdiri mematung, pemuda itu memakai almamater kampus yang ternyata letaknya tak jauh dari sekolah Rumaisha. Pemuda itu mengenakan almamater warna biru , menandakan bahwa ia seorang mahasiswa fakultas Hukum. Tersadar dari hayalannya, dan bahwa ia sedang diperhatikan oleh pemuda tersebut, ia menjadi malu, wajahnya memerah, dan segera ia berlari meninggalkan masjid. Rumaisha pulang, ke rumah, sesampainya di rumah, ia langsung duduk bersandar di kursi kamarnya, mengambil sebuah catatan kecil, ya catatan itu memang biasanya ia pakai sebagai media untuk curhat sama Allah. Walaupun ia tahu, bahwa Allah itu Maha Mengetahui, tanpa ia menulis pun Allah sudah mengetahuinya. Tapi, Rumaisha punya cara sendiri untuk melampiaskan perasaannya. Diambilnya pulpen dan mulai tangan menuliskan sesuatu
“ Ya Allah, Aku mohon
Jika Engkau takdirkan aku untuk mencintai seseorang, aku ingin seseorang yang bisa membawa cintaku agar lebih dekat kepada-Mu”
Ya, hanya dua baris namun penuh makna. Pada suatu hari di desa yang tidak jauh dari kota di mana Rumaisha tinggal terjadi bencana. Sebagai pemudi yang aktif ia turut menjadi relawan, dia membantu menyalurkan bantuan – bantuan. Tanpa disangka ternyata pemuda yang pernah memikat hatinya tersebut juga menjadi relawan, bahkan satu kelompok dengan Rumaisha, yang akhirnya mau tidak mau, menuntut keduanya untuk saling berbicara. Singkat cerita mereka berkenalan, nama pemuda tersebut adalah Abdullah. Semakin membuncah perasaan Rumaisha begitu nama itu disebut. Acara bakti social selesai. Namun, perkenalan mereka tidak berakhir seketika itu juga, mereka masih sering berkomunikasi, sekedar sharing atau tukar pendapat. Entah, apa yang membuat hati Abdullah juga terpikat pada Rumaisha. Mungkin karena komunikasi yang membuatnya merasa akrab dan nyaman. Suatu hari, Abdullah memberanikan diri untuk menyatakan perasaaannya.
“Rumaisha, aku ingin mengkhitbahmu” Bagaimana tidak tersentak perasaan Rumaisha, meskipun hanya dilontarkan melalui sms, namun cukup melambungkan angannya. Abdullah dan Rumaisha berniat untuk sberta’aruf, tapi, justru musibah bagi keduanya, niat awal yang baik justru meyerempet ke hal – hal yang tidak disukai Allah, mereka malah menjurus ke arah pacaran. Tapi, masih mampu mengendalikan nafsu mereka, dan tidak pernah sampai terjadi khalwat seperti pacaran pada umumnya. Mereka hanya berkomunikasi via telfon dan sms. Hari – hari seperti terasa indah bagi mereka, padahal, dibalik semua itu sedikit demi sedikit mereka meninggalkan keimanan mereka. Menghayalkan cita – cita mereka berdua yang ingin membina sebuah rumah tangga yang islami, bahkan sampai pada angan – angan tentang memiliki keturunan, meskipun begitu, cara mereka tetap saja salah, karena belum ada ikatan yang menghalalkan hubungan mereka. Hingga suatu hari, ada sebuah percakapan kecil di antara mereka, yang mana mengawali kesadaran Rumaisha untuk kembali ke jalan Allah.
“De, nanti kalau kita menikah de mau mahar apa?”
Pertanyaan yang pasti melambungkan angan – angan setiap wanita. Jauh – jauh sebelum bertemu dengan Abdullah, Rumaisha memang sudah mengidam-idamkan mahar untuk pernikahannya kelak, karena mahar adalah haknya wanita. Rumaisha mengetahui bahwa salah satu tanda wanita yang diberkahi adalah wanita yang murah maharnya. Namun mahar yang diinginkan oleh Rumaisha sudah ia tanamkan untuk tidak harus dipenuhi, hal ini hanya ia ajukan jika memang sang calon suami setuju dengannya, namun jika tidak maka ia akan meminta mahar yang jauh lebih ringan, hal ini karena ia hanya meniginkan ridho Allah.
“Hmm, de pengen maharnya de nanti 7 buah gamis besar berwarna gelap yang menutupi aurat de, dan menutupi seluruh lekuk tubuh de, plus jilbabnya yang besar ya kak, hehe , ”
Ketika melayangkan sms itu, jauh di dalam hati Rumaisha, terdapat harapan yang sangat besar agar Abdullah menyetujuinya.
Dibalik setiap permintaan Rumaisha itu malah manfaatnya ditujukan untuk suaminya kelak, pertama, ia ingin 7 buah (yang mana Allah menyukai angka ganjil) gamis besar berwarna gelap ( Rumaisha meniatkan pakaian itu untuk dipakai ketika ia keluar rumah, agar tiada lelaki lain yang senang memandangya, karena ia ingin menjaga keindahannya hanya untuk suaminya, ia tidak mau memakai warna – warna yang dapat menarik perhatian, makanya Rumaisha meminta warna yang gelap agar tidak ada lelaki yang tertarik untuk memandanginya ketika ia sedang di luar rumah, hal ini agar kehormatannya dan kehormatan suaminya tetap dapat terjaga), ia ingin sang suami membantunya untuk menjaga kehormatan istrinya kelak.
Namun, sungguh jawaban Abdullah sangat jauh di luar dugaan Rumaisha. Abdullah yang dari awal sangat memukau hati Rumaisha dengan sikapnya yang baik, kini membuat hati Rumaisha menangis hebat. Abdullah yang biasanya sangat memanjakannya dan meng’iya’kan setiap permintaan Rumaisha kini malah menolaknya.
“Wuih, de, ribet banget, liat nanti aja deh ya”
Membaca balasan sms itu, hati Rumaisha teriris rasanya, permintaan yang ia pikirkan manfaatnya,yang manfaatnya ia tujukan juga untuk calon suaminya, malah ditolak hanya dengan alasan ribet. Hati Rumaisha marah, ‘mana janji manismu, yang akan membawaku ke surga? Aku minta seperti itu saja kau sudah keberatan , apalagi kalau kita membina rumah tangga, apakah kamu tau semua itu juga aku tujukan untuk kamu kebaikannya, agar engkau mempunyai istri solehah, mempunyai perhiasan terindah dunia’ Hatinya menggerutuk. Sebenanrnya ingin ia menangis, tapi keadaannya yang sedang berada di keramaian, menahan sejenak air matanya untuk keluar.
“hehe, kalo misalnya kakak keberatan, diganti yang lain juga gak apa ko J “
Rumaisha membalas sms masih dengan tenang, tak mampu meluapkan kekecewaannya, namu, tak dapat dipungkiri, hatinya hancur, harapan yang ia gantungkan seolah – olah terkhianati.
Sesampai di rumah, Rumaisha merebahkan badannya di atas tempat tidur, mencoba menenangkan diri,
“ Ya Allah, seperti itu kah pria yang selama ini aku kagumi, yang aku harapkan bisa menjadi imam yang baik untukku dan keluargaku kelak? Di mana letak pengorbanannya, aku menyesal telah berharap padanya L “
Air mata Rumaisha tak terbendung lagi. Tersadar bahwa selama ini ia telah melanggar larangan Allah, dan mengharap kepada selain Allah, semakin tak tertahan air matanya menyesali perbuatannya selama ini.
Sejak saat itu ia kembali ke jalan Allah, mengambil hikmah dari semuanya. Allah Maha Pengampun.
Handphone Rumaisha selalu berbunyi, Abdullah selalu mencoba menghubunginya, namun tidak digubris oleh Rumaisha, mengikat hatinya satu untuk Allah. Menanti seorang imam pilihan Allah.
Hingga akhirnya mereka lulus dari perguruan tinggi, dan tak pernah berjumpa lagi.
Rumaisha mengganti maharnya, “jika ada seorang ikhwan yang agamanya dan ingin mengkhitbahku, maka sebagai mahar, aku ingin dia membacakan hafalan Surah kesukaanku, yaitu Surah An-Naba dan Ar-Rahman” JJJ
*****
Habibah Al-Hilm